Jumat, 20 Desember 2013


WAWASAN AL-QUR'AN
JIHAD
BERJIHAD MENGHADAPI SETAN DAN NAFSU
 
Seperti  dikemukakan  di  muka, sumber segala kejahatan adalah
setan yang sering menggunakan kelemahan nafsu  manusia.  Setan
adalah  nama yang paling populer di antara nama-nama si perayu
kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut  namanya  saja,
terbayanglah,  kejahatan  itu. Nama setan dikenal dalam ketiga
agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan  Islam.  Konon  kata  setan
berasal   dari  bahasa  ibrani,  yang  berarti  "lawan/musuh."
Tetapi, barangkali juga berasal  dari  bahasa  Arab,  syaththa
yang  berarti  "tepi",  dan  syatha  yang  berarti "hancur dan
terbakar", atau syathatha yang berarti "melampaui batas".
 
Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar
di  neraka.  Setan  selalu  di  tepi, memilih yang ekstrem dan
melampaui batas. Bukankah  seperti  sabda  Nabi  saw.,  "Khair
al-umur   al-wasath"  (Sebaik-baik  sesuatu  itu  adalah  yang
moderat, yang di tengah). Demikian  halnya  kedermawanan  yang
berada  di  antara  keborosan  dan  kekikiran,  dan keberanian
berada di tengah antara takut dan ceroboh. Konon kata devil di
dalam  bahasa  Inggris  terambil  dari  kata  do  yang  berati
melakukan dan evil yang  berarti  kejahatan.  Dengan  demikian
setan adalah "yang melakukan kejahatan."
 
Setan terjahat bernama iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat
bahwa kata iblis asalnya adalah dari  bahasa  Yunani  Diabolos
yang  mengandung  arti  memasuki dua pihak untuk menghasut dan
memecah belah.  Diabolos  adalah  gabungan  Dia  yang  berarti
ketika,  dan  Ballein  yang  berarti melontar. Hingga kemudian
secara majazi berarti demikian. Dari bahasa Arab, iblis diduga
terambil  dari  akar  kata  ablasa yang berarti putus harapan,
karena iblis telah putus harapannya masuk ke  surga.  Demikian
tulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, iblis.
 
Yang  jelas Allah Swt. tidak menciptakan setan secara sia-sia.
Sejak manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar  pintu
kebaikan   bagi   manusia,   karena  dengan  mengenalnya,  dan
mengetahui sifat-sifatnya, manusia dapat membedakan yang  baik
dan  yang  buruk.  Bahkan  dapat  mengenal substansi kebaikan.
Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak  jelek  atau  jahat,
bukan  pula  sekadar  lawan  kejelekan  atau  kejahatan. Wujud
kebaikan  baru  nyata  pada  saat  kejahatan  yang   ada   itu
diabaikan,  lalu  dipilihlah  yang  baik. Itu sebabnya manusia
melebihi malaikat, karena kejahatan tidak  dimiliki  malaikat,
sehingga  mereka  tidak  dapat  tergoda. Manusia dapat menjadi
setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu  merayu  yang
lain untuk memilih kejahatan.
 
Ketika   iblis   (setan)   dikutuk   Tuhan,  ia  bersumpah  di
hadapan-Nya:
 
     Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya
     benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
     jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi
     (merayu) mereka dari muka dan dan belakang, dan kanan
     dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
     kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS Al-A'raf [7]:
     16-17).
 
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu
manusia  dari  empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri,
sehingga tinggal  dua  penjuru  yang  aman,  yaitu  arah  atas
lambang kehadiran Allah Swt., dan arah bawah lambang kesadaran
manusia akan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Manusia  harus
berlindung  kepada  Allah,  sekaligus  menyadari  kelemahannya
sebagai makhluk, agar dapat selamat  dari  godaan  dan  rayuan
setan.
 
Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus,
yaitu seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki
kekebalan   tubuh.   Imunisasi   menjadi  cara  terbaik  untuk
memelihara  diri  dari  penyakit   jasmani.   Kekebalan   jiwa
diperoleh  saat berada di arah "atas" maupun "bawah". Al-Quran
surat An-Nisa ayat 76 menggarisbawahi bahwa:
 
     Sesungguhnya tipu daya setan lemah.
 
Ini tentu  bagi  mereka  yang  memiliki  kekebalan  jiwa.  Ini
menjadi    dasar    Al-Quran   memerintahkan   manusia   untuk
berta'awwudz memohon perlindungan-Nya saat terasa ada  godaan,
sebagaimana  dalam  berjihad  seorang Muslim dianjurkan banyak
berzikir, antara lain dengan menyebut atau memekikkan  kalimat
takbir "Allahu Akbar".
 
Al-Quran  surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas
al-khannas. Kata al-waswas pada  mulanya  berarti  suara  yang
sangat  halus,  lantas  makna  ini berkembang hingga diartikan
bisikan-bisikan    hati.    Biasanya    dipergunakan     untuk
bisikan-bisikan  negatif,  karena  itu  sebagian  ulama tafsir
memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka  setan  sering
membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang
 
Kata  al-khannas  terambil  dari  kata  khanasa  yang  berarti
kembali,  mundur,  melempem,  dan  bersembunyi.  Dalam   surat
An-Nas,   kata  tersebut  dapat  berarti:  (a)  Setan  kembali
menggoda manusia pada saat manusia lengah dan melupakan Allah,
atau  (b) Setan mundur dan melempem pada saat manusia berzikir
dan mengingat Allah.
 
Pendapat kedua  ini  didukung  hadis  yang  diriwayatkan  oleh
Bukhari  --walaupun  dalam  bentuk  mu'allaq berasal dari ibnu
Abbas-- yang berkata bahwa Nabi Saw. bersabda,
 
     Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam.
     Apabila berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila
     ia lengah, setan berbisik.
 
Ini berarti  bahwa  setan  dapat  mundur  dan  melempem,  atau
bersembunyi, jika manusia melakukan zikir kepada Allah.
 
Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan
manusia selalu berupaya untuk membisikkan  rayuan  dan  ajakan
negatif,   yang   dalam  surat  An-Nas  disebut  yuwaswisu  fi
shudurin-nas. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan:
 
     Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah
     kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
     Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang
     bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka
     ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka
     melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. (QS
     Al-A'raf [7]: 200-201)
 
Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu  manusia.
Ulama-ulama,   khususnya  para  sufi,  menekankan  bahwa  pada
hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan  bisikan
hati, kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak
tersebut. Al-Tustari seorang sufi agung menyatakan:
 
     Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang Muslim,
     tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang
     Mukmin, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang
     berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali yang ingat,
     bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan
     dunia kecuali dengan amalan akhirat.
 
Bisikan-bisikan tersebut  dapat  ditolak  dengan  jihad,  yang
dilakukan  dengan  menutup  pintu-pintu  masuknya, atau dengan
mematahkan semua kekuatan  kejahatannya.  Banyak  pintu  masuk
bisikan negatif ke dalam dada manusia, antara lain:
 
  1. Ambisi yang berlebihan dan prasangka buruk terhadap
     Tuhan. Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran.
     Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan
     terhadap kemurahan Ilahi, serta rasa puas terhadap
     hasil usaha maksimal yang halal.
     
  2. Gemerlap duniawi. Pintu ini dapat tertutup dengan
     sikap zuhud dan kesadaran ketidakkonsistenan kehidupan
     duniawi. Di siang hari Anda dapat melihat seorang
     kaya, berkuasa, atau cantik, dan menarik, tetapi pada
     sore hari semuanya dapat hilang seketika.
     
  3. Merasa lebih dari orang lain. Setan biasanya
     membisikkan kalimat-kalimat yang mengantarkan
     mangsanya merasa bahwa yang telah dan sedang
     dilakukannya adalah benar dan baik. Pintu masuk ini
     dapat dikunci dengan kesadaran bahwa penilaian Tuhan
     ditetapkan dengan memperhatikan keadaan seseorang
     hingga akhir usianya.
     
  4. Memperkecil dosa atau kebaikan. Sehingga
     mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan
     alasan dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan
     alasan malu karena amat sederhana. Ini mesti ditampik
     dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan, yakni
     terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak
     menilai bentuk perbuatan semata-mata, tetapi pada
     dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.
     
  5. Riya' (ingin dipuji baik sebelum, pada saat, maupun
     sesudah melakukan satu aktivitas). Hal ini dihindari
     dengan menyadari bahwa Allah tidak akan menerima
     sedikit pun amal yang dicampuri pamrih.
 
Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan  bahwa  setan  amat  pandai
menyesuaikan bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya.
Orang-orang   durhaka   digodanya   dengan   mendorong    yang
bersangkutan  meninggalkan ketaatan kepada Allah dan dibisikan
kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk)  adalah  baik/indah.
Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan mangsanya.
 
Adapun  terhadap  orang  yang taat kepada Allah, bisikar setan
dilakukan   dengan   cara    mendorong    agar    meninggalkan
amalan-amalan  sunah  dengan  berbagai  dalih, misalnya, letih
atau  mengganggu  konsentrasi  saat   mengamalkannya,   bahkan
menimbulkan  pikiran-pikiran  yang dapat mengurangi nilai amal
ibadah.  Hal-hal  tersebut  dapat  di  tampik  dengan   zikir,
mengingat   Allah,  melaksanakan  tuntunan-tuntunannya,  serta
menyadari kelemahan, dan kebutuhan manusia kepada-Nya.
 
Di sisi lain perlu diingat bahwa  kemiskinan,  kebodohan,  dan
penyakit  merupakan  senjata~senjata  setan  sekaligus menjadi
iklim yang mengembangbiakkan virus-virus kejahatan.
 
     Setan menjanjikan (mentakut-takuti) kamu dengan
     kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan,
     sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia.
     Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui (QS
     Al-Baqarah [2]: 268).
 
Penyakit juga merupakan senjata setan. Perhatikan keluhan Nabi
Ayyub  a.s.yang  diabadikan Al-Quran surat Shad ayat 41 ketika
menderita penyakit menahun.
 
     Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayub (a.s.), ketika ia
     menyeru Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu setan
     dengan kepayahan dan siksaan (penyakit)."
 
Kebodohan juga merupakan senjata dan lahan  subur  bagi  setan
untuk memberi janji-janji kepada manusia:
 
     Setan selalu memberi janji-janji kepada mereka, dan
     membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal
     setan tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan
     belaka (QS Al-Nisa' [4]: 120).
 
Manusia dituntut berjihad melawan segala macam  rayuan  setan,
menyiapkan  iklim  dan  lokasi  yang  sehat  untuk menghalangi
tersebarnya  wabah  dan  virus   yang   diakibatkan   olehnya.
Selanjutnya  yang  akan terjangkiti penyakit hati adalah orang
kafir  dan  munafik.  Al-Quran  dan  Sunnah  menjelaskan  cara
menghadapi mereka. Intinya dijelaskan oleh sabda Nabi Saw..
 
     Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah dicegahnya
     dengan tangannya, bila ia tidak mampu maka dengan
     lidahnya, dan bila tidak mampu maka dengan hatinya...
 
Ketiga cara ini termasuk berjihad juga.
 
BERJIHAD DENGAN SENJATA
 
Al-Quran menyebutkan bahwa yang pertama dan  utama  pada  saat
melakukan  jihad  --dengan  fisik atau bukan-- adalah kesiapan
mental, yang intinya adalah keimanan dan  ketabahan.  Al-Quran
surat Al-Anfal ayat 65 mengingatkan:
 
     Hai Nabi, kobarkanlah semangat kaum Mukmin untuk
     berperang. Jika ada di antara kamu dua puluh orang
     yang sabar, maka mereka dapat mengalahkan dua ratus
     orang musuh. Kalau ada di antara kamu seratus orang
     (yang sabar), maka mereka dapat mengalahkan seribu
     orang kafir, ini karena mereka (orang-orang kafir)
     tidak mengerti.
 
Pada mulanya para sahabat Nabi Saw. memang berat  melaksanakan
tuntunan ini, karena itu turun keringanan yang menyatakan,
 
     Sekarang Allah meringankan untukmu. Dia mengetahui
     bahwa padamu ada kelemahan, maka jika di antara kamu
     ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
     mengalahkan dua ratus orang, dan jika ada seribu orang
     (yang sabar) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu
     orang dengan seizin Allah Dan Allah beserta
     orang-orang yang sabar (QS Al-Anfa1 [8]: 66).
 
Sebelum memberi tuntunan, Al-Quran memerintahkan Rasul sebagai
pemimpin  kaum  Mukmin  agar mempersiapkan kekuatan menghadapi
musuh. Seandainya musuh mengetahui kesiapan kaum Muslim terjun
ke  medan  jihad, tentu mengurungkan niat agresi mereka. Allah
berfirman dalam surat Al-AnfA1 [8]: 60.
 
     Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh)
     kekuatan yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang
     ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
     kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan
     orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui,
     sedangkan Allah mengetahuinya.
 
Tetapi lanjutan ayat ini menyebutkan sikap  Al-Quran  terhadap
peperangan,   yaitu   upaya  untuk  menghindarinya  dan  tidak
dilakukan kecuali setelah seluruh cara damai ditempuh:
 
     Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
     kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah.
     Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
     Mengetahui. Jika mereka bermaksud untuk menipumu, maka
     sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dia
     yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
     para Mukmin (QS 8: 61-62).
 
Memang, peperangan  pada  hakikatnya  tidak  dikehendaki  oleh
Islam. Seorang yang telah dihiasi iman pasti akan membencinya,
begitu yang dijelaskan Al-Quran:
 
     Diwajibkan kepada kamu berperang, padahal berperang
     adalah sesuatu yang kamu benci, (tetapi) boleh jadi
     kamu membenci sesuatu tetapi baik untukmu, dan boleh
     jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal buruk bagimu.
     Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS
     2: 216).
 
Allah Swt. mewajibkan perang  dan  jihad,  karena  sebagaimana
firman-Nya:
 
     Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian
     manusia dengan sebagian yang lain (mengizinkan
     peperangan), maka pasti rusaklah bumi ini. Tetapi
     Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan pada seluruh
     alam) (QS Al-Baqarah [2]: 251)
 
Ayat tersebut turun berkaitan dengan izin peperangan bagi kaum
Muslim,  dan  izin  itu  diberikan  dengan  penjelasan tentang
alasannya:
 
     Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
     diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
     Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong
     mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari
     kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
     kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah
     Allah". Sekiranya Allah tidak menolak keganasan
     sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya
     akan dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
     rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid- masjid
     yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
     Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi
     Mahaperkasa (QS Al-Hajj [22]: 39-40).
 
Jihad atau peperangan  yang  diizinkan  Al-Quran  hanya  untuk
menghindari  terjadinya penganiayaan sebagaimana bunyi firman-
Nya:
 
     Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi (kamu)
     dan jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
     tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS 2:
     190).
 
"Melampaui batas" dijelaskan  oleh  Nabi  Saw.  dengan  contoh
membunuh  wanita,  anak  kecil,  dan orang tua. Bahkan oleh A1
Quran salah satu pengertiannya adalah tidak mendadak melakukan
penyerangan, sebelum terjadi keadaan perang dengan pihak lain:
karena itu jika sebelumnya ada  perjanjian  perdamaian  dengan
suatu  kelompok, perjanjian itu harus dinyatakan pembatalannya
secara tegas terlebih dahulu.
 
Al-Quran menegaskan:
 
     Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan
     dari satu golongan, kembalikanlah perjanjian
     perdamaian kepada mereka secara jujur. Sesungguhnya
     Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS
     Al-Anfal [8]: 58)
 
Peperangan harus  berakhir  dengan  berakhirnya  penganiayaan.
Begitu penegasan Al-Quran:
 
     Perangilah mereka sampai batas berakhirnya
     penganiayaan, dan agama itu hanya untuk Allah belaka.
     Jika mereka telah berhenti dari penganiayaan, tidak
     lagi dibenarkan permusuhan kecuali atas orang-orang
     yang zalim (QS Al-Baqarah [2]: 193).
 
Kaum Muslim yang melampaui batas ketetapan Allah  pun  dinilai
berbuat  zalim, dan atas dasar itu mereka wajar untuk dimusuhi
Allah dan kaum Mukmin (yang lain).
 
Perlu disadari bahwa izin memerangi kaum  kafir  bukan  karena
kekufuran  atau keengganan mereka memeluk Islam, tetapi karena
penganiayaan yang mereka 1akukan terhadap "hak  asdsi  manusia
untuk  memeluk  agama  yang dipercayainya". Banyak sekali ayat
yang dapat diketengahkan untuk membuktikan hal  itu,  misalnya
lanjutan ayat Al-Baqarah 191:
 
     Bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka dan
     usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu,
     fitnah (penganiayaan dan pengacauan) lebih besar
     bahayanya daripada pembunuhan, (tetapi) jangan perangi
     mereka di Masjid Al-Haram kecuali jika mereka
     memerangi kamu di sana. Apabila mereka memerangi kamu,
     bunuhlah mereka! Demikian itulah balasan bagi
     orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari
     penganiayaan/permusuhannya), sesungguhnya Allah Maha
     Pengampun lagi Maha Penyanyang (QS Al-Baqarah [2]:
     191-192) .
 
Dalam ayat lain ditegaskan:
 
     Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku
     adil (memberi sebagian hartamu) terhadap orang-orang
     (non-Muslim) yang tidak memerangi kamu karena agama,
     dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
     Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
     adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
     (menjadikan sebagai kawanmu) orang-orang yang
     memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dan
     negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
     Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka
     mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah
     [60]: 8-9).
 
Dari ayat-ayat itu --dan ayat-ayat lain  seperti  dalam  surat
An-Nisa'  ayat  75--  dipahami  bahwa  Al-Quran  mensyariatkan
peperangan untuk mengusir  orang-orang  yang  menduduki  tanah
tumpah darah; gugur dalam medan perjuangan ini dinilai sebagai
syahid. Ulama-ulama  menegaskan  bahwa  jihad  membela  negara
selama  musuh  masih  berada  di luar wilayah negara, hukumnya
fardhu kifayah. Oleh karena itu,  bila  telah  ada  sekelompok
masyarakat  yang  melaksanakan  pembelaan,  maka kewajiban itu
gugur bagi orang yang tidak melaksanakannya. Tetapi jika musuh
telah  memasuki  wilayah  negara,  maka hukumnya adalah fardhu
'ain, yakni wajib bagi setiap individu bangkit berjihad sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing.
 
                              ***
 
Demikian terlihat  bahwa  jihad  beraneka  ragam:  memberantas
kebodohan,  kemiskinan,  dan  penyakit adalah jihad yang tidak
kurang  pentingnya  daripada   mengangkat   senjata.   Ilmuwan
berjihad  dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan
karya yang baik,  guru  dengan  pendidikannya  yang  sempurna,
pemimpin  dengan  keadilannya,  pengusaha dengan kejujurannya,
demikian seterusnya.
 
Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih,  jihad  mengakibatkan
terenggutnya  jiwa,  hilangnya  harta  benda,  dan  terurainya
kesedihan  dan  air  mata.   Kini   jihad   harus   membuahkan
terpeliharanya  jiwa,  terwujudnya  kemanusiaan  yang adil dan
beradab, melebarnya senyum dan  terhapusnya  air  mata,  serta
berkembangnya harta benda. Sehingga,
 
     Apakah kamu menduga akan masuk surga, padahal belum
     nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara
     kamu dan belum nyata pula orang-orang yang tabah? (QS
     Ali 'Imran [3]: 142).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar